KONSEP
PENGASUHAN DAN PENDIDIKAN ANAK DALAM ISLAM
A.
Pendahuluan
Realita yang sudah tak asing lagi ditelinga
kita adalah narkoba melanda anak muda. Pergaulan bebas sudah seperti jamur yang
tumbuh subur di negeri yang yang kaya akan hasil alamnya ini. Tawuran antar
pelajar merupakan hal biasa yang katanya “Gak keren Bro kalo ga tawuran”.
Melihat fenomena tersebut malah membuat orang tua menjadi resah, guru
kehilangan jurus, petugas keamanan mati kutu, masyarakat pun tercekam. Mau jadi
apa anak-anak kita nanti?
Anak merupakan karunia sekaligus ujian bagi
orang tua. Mendidik mereka menjadi sebuah amanah terbesar dan terberat yang
harus dipikul orang tua. Punya anak yang saleh dan salehah merupakan harapan
setiap orang tua, tetapi untuk mencapainya bukanlah diperoleh dengan cara yang
instan.
Berkaitan dengan hal itu, Allah berfirman
dalam surah al-Tahrîm
ayat 6 yang bunyinya :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ
وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدَادٌ لا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ
وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ (٦)
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Beranjak dari fenomena
diatas dalam bahasan kali ini menarik untuk didiskusikan bersama bagaimana
sebenarnya dan seharusnya pengasuhan dan pendidikan anak dalam islam agar
kedepannya tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan dan kita sebagai orang tua
benar-benar mengamalkan apa yang diperintahkan Allah seperti dalam firman-Nya
surah al-Tahrîm ayat 6 diatas.
B.
Pengertian
Pengasuhan dan Pendidikan Anak Dalam Islam
Dalam kamus besar bahasa Indonesia
pengasuhan adalah proses, perbuatan, atau cara mengasuh.[1]
Mengasuh dalam bahasa arab berasal dari akar kata حَضَنَ – يَحْضُنُ yang artinya asuh,
mengasuh.[2]
Mengasuh anak adalah menjaga orang yang belum mampu mandiri mengurus urusannya
sendiri, mendidik, menjaganya dari hal yang merusak atau pun yang
membahayakannya.[3]
Beranjak dari hal itu dan melihat dalam
kamus besar bahasa Indonesia pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata
laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui
upaya pengajaran dan latihan; proses perbuatan, cara mendidik.[4]
Dalam bahasa arab pendidikan berasal dari akar kata تَرْبِيّةٌ yang artinya
didik, pendidikan.[5] Apabila
istilah tarbiyah diambil dari fi’il madhi-nya (rabbayânî) maka ia mempunyai arti memproduksi, mengasuh,
menanggung, memberi makan, menumbuhkan, mengembangkan, memelihara, membesarkan,
dan menjinakkan.[6] Dalam
alqur’an dapat ditemui tiga ayat yang senada dengan istilah tersebut, yaitu:
dalam surah al-Isra’:24 yang bunyinya: kamâ rabbayânî shaghîra. Ayat ini
menunjukkan pengasuhan dan pendidikan orang tua kepada anak-anaknya baik
jasmani maupun rohani. Dalam surah asy-Syu’ara:18 yang bunyinya: alam
nurabbika fina walîda.
Ayat ini menunjukkan pengasuhan fir’aun terhadap Nabi Musa sewaktu kecil
akan tetapi hanya jasmani saja tidak untuk rohani. Kemudian dalam surah al-Baqarah:
276 yang bunyinya: yamhullahurribâ wa yurbî shadaqah. Ayat ini berkenaan dengan makna menumbuh
kembangkan dalam pengertian tarbiyyah seperti Allah menumbuh kembangkan
sedekah dan menghapus riba.[7]
Tidak banyak literatur yang penulis dapat
tentang pengertian “pengasuhan” anak. kalau dilihat dari kata “pengasuhan”
berbeda dengan “pendidikan”, tetapi sejauh penulis pahami dari pengertian yang
ada maknanya sama saja, karena pengasuhan itu merupakan tanggung jawab orang
tua terhadap anaknya yang mana didalamnya selain memberikan kebutuhan jasmani
dan kebutuhan rohani juga kebutuhan pendidikan. Artinya kalau boleh dikatakan
“pengasuhan anak” maka sama saja maknanya “pendidikan anak”.
C.
Konsep Pengasuhan
Dan Pendidikan Anak Dalam Islam
Al-Qur’an
telah menjelaskan bagaimana pendidikan anak dalam islam. Dimulai dengan
bagaimana orang tua berbicara dengan anak-anaknya. Seperti dalam surah Luqman:
13 yang berbunyi:
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا
بُنَيَّ لا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ (١٣)
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada
anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah
kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah
benar-benar kezaliman yang besar".
Dalam ayat tersebut mengajarkan kepada orang tua agar
berbicara dengan anak dengan cara lemah lembut disertai dengan kasih sayang
yang mendalam tanpa memandangnnya dengan penuh kebencian. Diharuskan juga
ketika orang tua menyuruh ataupun melarang harus menggunakan argumentasi logis,
misalnya ayah atau ibu melarang anak untuk tidak kebut-kebutan dijalan karena
itu dapat membahayakan dirinya dan tentunya membuat orang tua khawatir, lebih
baik pergi kepengajian dimesjid lebih mendapat pahala dari pada melakukan hal
yang tidak bermanfaat dijalanan.[8]
Orang tua dalam mendidik anaknya harus dengan benar, jangan
dibiarkan begitu saja karena anak merupakan amanah yang diberikan Allah kepada
orang tua. Maka dari itulah mendidik anak harus dengan baik dan benar sesuai
tuuntunan al-Qur’an. Pada masa sekarang para orang tua dengan bangganya
memberikan pendidikan kepada anaknya sampai jenjang yang tinggi dan mendapat
gelar sarjana. Hal itu bisa saja orang tua lakukan dengan tujuan untuk
menunjang kemaslahatan kehidupan duniawinya akan tetapi jangan lupa pendidikan
kemaslahatan kehidupan akhiratnya kelak. Seperti Rasulullah ajarkan kepada kita
bahwa pendidikan itu sebenarnya ada tiga yaitu: ayat yang pasti, sunnah yang
benar, dan kewajiban yang harus dilakukan. Ayat yang pasti itu maksudnnya
seperti ilmu tauhid, ushuluddin, kajian-kajian tentang sang pencipta. Sunnah
yang benar seperti hal-hal yang berkaitan dengan keikhlashan, ilmu tentang
kemuliaan manusia dan kehinaannya, cara mendapatkan kemuliaan dan menghindari
dari kehinaan. Kewajiban yang harus dilakukan seperti ilmu-ilmu fiqih.
Sedangkan ilmu-ilmu yang lainnya hanyalah pelengkap saja seperti ilmu-ilmu umum
sampai mendapat gelar professor hanyalah untuk ilmu pelengkap demi kemaslahatan
anak kelak.
Sebagai orang tua yang ingin benar-benar mendidik anaknya
agar menjadi manusia dan muslimin yang berada dalam garis ajaran islam bisa
menerapkan ajaran-ajaran Luqman dalam al-Qur’an yang insyaAllah anak yang kita
didik tidak akan keluar dari koridor islam. Dikatakan demikian karena
ajaran-ajaran Luqman yang ditawarkan ini merupakan bersumber dari sumber asli
yakni al-Qur’an.
Pertama, perintah untuk mensyukuri ni’mat dalam surah Luqman
ayat 12 yang bunyi ayatnya adalah:
وَلَقَدْ آتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ
لِلَّهِ وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ
غَنِيٌّ حَمِيدٌ (١٢)
Artinya: “Dan Sesungguhnya telah Kami berikan hikmat
kepada Luqman, Yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. Dan Barangsiapa yang
bersyukur (kepada Allah), Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri;
dan Barangsiapa yang tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi
Maha Terpuji".
Dalam tafsir Ibnu Katsir menurut cerita yang diriwayatkan
oleh Sa’id bin Abi Arubah, dari Qatadah tentang firman Allah dalam ayat ini
menerangkan bahwa Allah telah memberikan pemahaman, pengetahuan dan ta’bir
mimpi kepada Luqman tentang islam padahal dia bukan seorang Nabi dan tidak
diberikan wahyu. Allah memerintahkan kepadanya untuk bersyukur kepada Allah
atas apa yang telah diberikan, dianugerahkan dan dihadiahkan oleh-Nya berupa
keutamaan yang hanya dikhususkan kepadanya, tidak kepada orang lain yang
sejenis di masanya. Apabila bersyukur kepada Allah maka manfaat dan pahalanya
hanya akan kembali kepada orang-orang yang bersyukur itu sendiri. Barang siapa
yang tidak bersyukur kepada Allah maka hal itu tidak membahayakan-Nya sekalipun
seluruh penghuni alam ini mengkufuri-Nya karena sesungguhnya Allah Maha Kaya dari
hamba-hamba-Nya[9].
Kedua, perintah untuk tidak menyekutukan Allah dalam surah Luqman
ayat 13 yang bunyi ayatnya adalah:
Artinya: “Dan
(ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran
kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
Asbabun Nuzul ayat 13
dalam surah ini adalah: dari ‘alqamah ra., dari ‘abdullah ra., dia berkata ,
“tatkala turun QS. Al-An’âm: 82, kalangan sahabat bertanya, ‘siapa diantara
kita yang tidak berbuat zalim terhadap dirinya?’ lalu turunlah ayat ini.” (HR.
Bukhârî)[10]
Dalam tafsir Ibnu
Katsir diterangkan bahwa Luqman memberikan wasiat kepada putranya yang bernama
Tsaran yang merupakan orang yang paling dikasihi dan dicintainya. Ini merupakan
wasiat yang paling utama yakni untuk beribadah kepada Allah yang tidak ada
sekutu bagi-Nya karena sesungguhnya syirik (mempersekutukan Allah) merupakan
kezhaliman terbesar.[11]
Dalam surah al-An’âm ayat 82 juga disebutkan hal yang sama untuk tidak
menyekutukan-Nya, yang bunyi ayatnya:
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ
بِظُلْمٍ ...
Artinya:
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan
kezaliman (syirik)…”
Selain surah al-An’âm
ayat 82, juga ditemukan dalam surah al-Isrâ’ ayat 23. Dalam ayat tersebut
diperintahkan untuk beribadah kepada Allah dengan berbakti pada Ibu-Bapak, yang
bunyi ayatnya:
وَقَضَى رَبُّكَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ
إِحْسَانًا ..…
Artinya: “Dan
Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya…”
Selain ayat tersebut
masih banyak lagi ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan hal tersebut. Selain ayat
al-Qur’an tentunya hadits juga mendukung larangan syirik, bunyi haditsnya:
حَدَّثَنَا الْحَوْطِيُّ ، حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ ، حَدَّثَنَا
سَعِيدُ بْنُ سِنَانٍ ، عَنْ يَحْيَى بْنِ جَابِرٍ الطَّائِيِّ ، عَنْ مُعَاوِيَةَ
بْنِ حَكِيمٍ ، عَنْ أَبِيهِ حَكِيمٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، أَنَّهُ أَتَى النَّبِيَّ
صلى الله عليه وسلم ، فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللهِ ، بِمَا أَرْسَلَكَ رَبُّنَا ؟ قَالَ
: تَعْبُدُ اللَّهَ تَعَالَى لا تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا ، وَتُقِيمُ الصَّلاةَ ، وَتُؤْتِي
الزَّكَاةَ ، وَكُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ مُحَرَّمٌ ، يَا حَكِيمُ ، هَذَا
دِينُكَ أَيْنَمَا تَكُنْ يَكْفِكَ
Ketiga, berterima
kasih kepada orang tua surah Luqman ayat 14
yang bunyi ayatnya adalah:
وَوَصَّيْنَا
الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي
عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ (١٤)
Artinya: “Dan
Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang Ibu-Bapanya;
ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan
menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu
bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu”.
Dalam ayat ini Allah
memerintahkan agar berbuat baik pada kedua orang tua, yang mana ibunya
mengandung dalam keadaan lemah. Menurut Mujahid berkata: “beratnya kesulitan
mengandung anak” sedangkan menurut Qatadah berkata: “keberatan demi kebeatan”.
Setelah melahirkan yakni mengasuh dan menyusuinya selama dua tahun kalau memang
ingin menyempurnakannya. Allah menyebutkan (dalam ayat ini) pengasuhan seorang
ibu, kelelahan dan kesulitannya saat menjaganya diwaktu siang dan bahkan harus
bergadang malam hari hanya untuk merawat bayi yang tidak punya daya apa-apa
karena begitu besar cintanya pada buah hati maka dari itulah Allah
memerintahkan untuk bersyukur kepada-Nya dan kepada kedua orang tuanya.[12]
Dalam hadits yang diriwayatkan
Muslim yang senada dengan hal ini.
عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه و سلم قال لايجزي ولد والده
إلا أن يجده مملوكا فيشتريه فيعتقه
Artinya: Dari Abu hurairah ra, ia
berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “seorang tidak dapat membalas budi kedua orang
tuanya, kecuali jika mendapatkan orang tuanya menjadi budak, kemudian ia
membeli dan memerdekakannya.”[13]
Keempat,
bila orang tua musyrik maka tetap saja baik dalam urusan dunia saja
dalam surah Luqman ayat 15 yang bunyi ayatnya adalah:
وَإِنْ
جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا
فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ
مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (١٥)
Artinya: “Dan
jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada
pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan
pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang
kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Ku lah kembalimu, maka kuberitakan
kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”.
Ayat ini menjelaskan
bahwa jika kedua orang tua memaksakan agamanya (selain islam), maka janganlah (kamu)
menerimanya dan itu pun tak boleh menghalangimu untuk berbuat baik kepada
keduanya di dunia secara ma’ruf (baik) dan tetap ikuti orang-orang yang kembali
kepada Allah.[14]
Kelima, menanamkan
pada anak bahwa akan adanya balasan akhirat dalam
surah Luqman ayat 16 yang bunyi ayatnya adalah:
يَا
بُنَيَّ إِنَّهَا إِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِي صَخْرَةٍ
أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الأرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ
خَبِيرٌ (١٦)
Artinya:
(Luqman berkata): "Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan)
seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi,
niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha
Halus lagi Maha mengetahui.
Tafsir ayat ini adalah
suatu perbuatan seberat biji sawi yaitu kezhaliman dan kesalahan sekalipun
seberat biji sawi, niscaya Allah akan membalasnya. Allah akan menghadirkannya
pada hari kiamat ketika Dia mendirikan timbangan keadilan serta membalasnya.
Jika kebaikan akan dibalas dengan kebaikan dan jika keburukan maka akan dibalas
dengan keburukan. Senada dalam surah al-Anbiyâ’: 47 yang bunyi ayatnya:
وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ
فَلا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا...
Artinya: “Kami
akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, Maka Tiadalah dirugikan
seseorang barang sedikitpun…”
Sekalipun biji sawi
itu terlindungi dan terhalang di dalam batu besar hitam atau di tempat terasing
jauh di ujung langit dan bumi, sesungguhnya Allah akan menghadirkannya karena
tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dan tidak ada satu biji dzarrah pun yang
ada di langit dan di bumi yang terluput dari-Nya. Allah Maha Halus ilmu-Nya
sehingga tak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya, sekalipun kecil, halus
dan lembut.[15]
Keenam, perintah
shalat, amar ma’ruf nahi munkar, dan sabar
dalam surah Luqman ayat 17 yang bunyi ayatnya adalah:
يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ
وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ
الأمُورِ
Artinya: “Hai
anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan
cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang
menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan
(oleh Allah).”
Dalam ayat ini Luqman
menyuruh anaknya agar mendirikan shalat dengan menegakkan batas-batasnya,
melakukan fardhu-fardhunya dan menetapkan waktu-waktunya. Menyuruh (manusia)
mengerjakan yang baik dan mencegah dari perbuatan yang munkar sesuai dengan kemampuan
dan kesungguhanmu. Bersabarlah terhadap apa yang menimpamu karena orang yang
melakukan amar ma’ruf nahi munkar pasti akan mendapat gangguan dari manusia,
maka dia memerintahkannya untuk bersabar.[16]
Dalam hadits yang
diriwayatkan oleh al-Hakim adalah perintah untuk mendirikan shalat, bunyi
haditsnya:
فقد حدثناه أبو الحسن أحمد بن محمد العنزي ثنا عثمان بن سعيد
الدرامي ثنا النفيلي ثنا زهير و غيره عن سليمان التيمي عن أنس بن مالك رضي الله عنه
قال : كان آخر وصية رسول الله صلى الله عليه و سلم حين حضره الموت : الصلاة الصلاة
مرتين و ما ملكت أيمانكم و ما زال يغرغر بها في صدره و ما يفيض بها لسانه
Artinya: “Wasiat
terakhir Rasulullah saw menjelang wafat adalah: Shalat…! Shalat…! Dua kali dan
budak-budak yang kalian miliki. Kalimat itulah yang terus keluar masuk dadanya
dan digerak-gerakkan lisannya.”[17]
Hadits tentang amar
ma’ruf nahi munkar yang tak asing lagi kita dengar yang mana diriwayatkan
Muslim, bunyi haditsnya:
عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال : سمعت رسول الله صلى الله
عليه وآله وسلم يقوم : من رأى منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم
يستطع فبقلبه وذلك أضعف الإيمان. رواه
مسلم
Artinya: “Dari Abi
Said al-Khudri ra, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, “barang
siapa melihat yang kemungkaran maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya,
jika ia tidak mampu maka dengan lisannya, jika ia tidak mampu maka dengan
hatinya, yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman.”[18]
Selanjutnya hadits
tentang perintah sabar, diriwayatkan Muslim, bunyi haditsnya adalah:
إن الرفق لا يكون في شيء إلا زانه ، ولا ينزع من شيء إلا شانه
) . رواه مسلم
Artinya: “Sesungguhnya
tidak ada kelembutan pada sesuatu hal kecuali dia akan menghiasinya, dan
tidaklah ia tercabut dari suatu hal melainkan akan mencorengnya.” [19]
Ketujuh, untuk tidak
berlaku sombong dalam surah Luqman
ayat 18-19 yang bunyi ayatnya adalah:
Artinya: “Dan
janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah
kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.
Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah
suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.
Tafsir ayat ini adalah
bahwa dia (Luqman) berkata: janganlah engkau palingkan wajahmu dari manusia
jika engkau berkomunikasi dengan mereka atau mereka berkomunikasi denganmu
karena merendahkan mereka atau karena kesombongan, akan tetapi merendahlah dan
maniskanlah wajahmu terahadap mereka. Janganlah kamu sombong, takabbur,
otoriter, dan (menjadi) pembangkang. Jikalau engkau lakukan hal itu maka Allah
pasti akan memurkaimu, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang sombong dan bangga pada diri sendiri serta sombong pada orang lain. Dalam
berjalan juga harus secara sederhana, tidak terlalu lambat dan tidak terlalu
cepat, akan tetapi adil dan pertengahan. Juga dalam hal berbicara janganlah
berlebihan dan jangan mengeraskan suara pada sesuatu yang tidak bermanfaat.
Keterlaluan mengangkat suara disamakan dengan keledai dalam ketinggian dan
kekerasannya dan disamping itu kekerasan suara tersebut merupakan hal yang
dimurkai Allah. Penyerupaan suara ini dengan keledai menjadi konsekuensi logis
keharaman dan ketercelaannya yang sangat keras.[20]
Hadits yang berkenaan
dengan larangan sombong, yang diriwayatkan Muttafaqun ‘alaih:
حدثنا محمد بن أحمد بن أبي خيثمة قال وجدت في كتاب جدي بخطه
ثنا إسماعيل بن أبان حدثني مسعر ثنا معبد بن خالد : عن حارثة بن وهب و المستورد الفهري
قالا قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : ألا أخبركم بأهل الجنة ؟ كل ضعيف متضعف لو
أقسم على الله لأبره ألا أخبركم بأهل النار ؟ كل عتل جواظ مستكبر
Artinya: “Dari
Haritsah bin Wahab ra, dia berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah saw
bersabda,” maukah kamu saya beritahukan tentang penghuni neraka? Mereka adalah
orang yang kaku dan kasar, berakhlak sangat buruk dan sombong.”
D.
Penutup
Konsep yang ditawarkan oleh pendidikan islam hanya mempunyai
satu tujuan yakni menyiapkan individu untuk dapat beribadah kepada Allah SAW
dan tak perlu dinyatakan lagi bahwa totalitas agama islam tidak membatasi
pengertian ibadah hanya pada shalat, puasa ataupun haji semata, akan tetapi
karya yang dilakukan seorang muslim dengan niat untuk Allah semata merupakan
ibadah. Begitu pula dengan pendidikan anak dalam islam yang diterapkan, apakah
seperti Luqman terhadap anaknya ataukah pendidikan umum yang dikenyam banyak
orang pada saat ini sampai jenjang perguruan tinggi yang mana inti dari
kesemuanya itu diniatkan untuk Allah semata, jadi pendidikan yang bagaimanapun
(yang bermanfaat) merupakan ibadah.
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu
Syaikh, Lubâbut Tafsîr Min Ibni Katsîr
(Terj. Tafsir Ibnu Katsir, oleh Abdul Ghoffar, et al, Bogor, Pustaka
Imam asy-Syafi’I, 2008, cet-5 jilid 6,
h. 399), Mu-assasah Dâr al-hilâl Kairo,
cet-1, 1994.
Al-Attas, Muhammad al-Naquib, Konsep Pendidikan
Dalam Islam, Bandung, Mizan, 1998.
Baharits, Adnan Hasan Shalih, Mas’ûliyyatul Abilmuslimi fi Tarbiyatil Waladi (Terj. Tanggung Jawab Ayah Terhadap Anak Laki-Laki,
Jakarta, Gema Insani Press, 1996, Cet-1, h. 105), Jeddah-Saudi Arabia, Darul
Mujtama, 1991, Cet-2.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1990, Cet-3.
Hatta, Ahmad, Tafsir
Qur’an, Jakarta, Maghfirah pustaka, 2009, Cet-4 Des.
Mazhahiri, Husain, Pintar Mendidik Anak (Terj.
Tarbiyyah ath-Thifl fi ar-Ru’yah al Islamiyyah Beirutal-Bi’tsah1992, cet-1),
Jakarta, lentera, 2008, Cet-7.
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Syarah Riyadush
Shalihin, Jakarta, Darus Sunnah Press, 2009, Cet-2.
Mujib, Abdul,et
al, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, kencana, 2006,Cet-1.
Rusyadi, dkk, kamus
Indonesia-Arab, Jakarta, Rineka Cipta, 1995, Cet-1.
Salim et.al., Syarah Bulughul Maram Hadits
Hukum-Hukum Islam, Surabaya, Halim Jaya, 2005.
[1]Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai
Pustaka, 1990, Cet-3, h. 54.
[2]Rusyadi,
dkk, kamus Indonesia-Arab, Jakarta, Rineka Cipta, 1995, Cet-1, h.
59.
[3]Salim
et.al., Syarah Bulughul Maram Hadits Hukum-Hukum Islam, Surabaya, Halim
Jaya, 2005, h. 702.
[4]Departemen…h.
204.
[5]Rusyadi…h.
211.
[6]Muhammad
al-Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam, Bandung, Mizan, 1998,
h. 66.
[7]Abdul
Mujib,et al, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, kencana, 2006,Cet-1, h.
11-12.
[8]Husain
Mazhahiri, Pintar Mendidik Anak (Terj. Tarbiyyah ath-Thifl fi ar-Ru’yah
al Islamiyyah Beirutal-Bi’tsah1992, cet-1), Jakarta, lentera, 2008, Cet-7, h.
216.
[9]Abdullah
bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Lubâbut Tafsîr Min Ibni Katsîr (Terj. Tafsir
Ibnu Katsir, oleh Abdul Ghoffar, et al, Bogor, Pustaka Imam asy-Syafi’I,
2008, cet-5 jilid 6, h. 399), Mu-assasah
Dâr al-hilâl Kairo, cet-1, 1994.
[10]Ahmad
Hatta, Tafsir Qur’an, Jakarta, Maghfirah pustaka, 2009, Cet-4 Des, h.
412.
[11]Abdullah…OP.Cit.,
h. 401.
[12]Abdullah…ibid,
h. 402.
[13]Muhammad
bin Shalih al-Utsaimin, Syarah Riyadush Shalihin, Jakarta, Darus Sunnah
Press, 2009, Cet-2, h. 498.
[14]Abdullah…Op.Cit.,
h. 402.
[15]Abdullah…ibid,
h. 404.
[16]Abdullah…ibid,
h. 404.
[17]Adnan
Hasan Shalih Baharits, Mas’ûliyyatul
Abilmuslimi fi Tarbiyatil Waladi (Terj. Tanggung Jawab Ayah Terhadap
Anak Laki-Laki, Jakarta, Gema Insani Press, 1996, Cet-1, h. 105),
Jeddah-Saudi Arabia, Darul Mujtama, 1991, Cet-2.
[18]Muhammad
bin Shalih al-Utsaimin…Op.Cit., h. 121.
[19]Muhammad
bin Shalih al-Utsaimin…Op.Cit., h.. 978.
[20]Abdullah…ibid,
h. 405.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar