Welcome To My Blog

Welcome To My Blog
PAI C

Jumat, 30 Maret 2012

KONSEP PENGASUHAN ANAK DAN PENDIDIKAN ANAK DALAM ISLAM


KONSEP PENGASUHAN DAN PENDIDIKAN ANAK DALAM ISLAM

A.            Pendahuluan
Realita yang sudah tak asing lagi ditelinga kita adalah narkoba melanda anak muda. Pergaulan bebas sudah seperti jamur yang tumbuh subur di negeri yang yang kaya akan hasil alamnya ini. Tawuran antar pelajar merupakan hal biasa yang katanya “Gak keren Bro kalo ga tawuran”. Melihat fenomena tersebut malah membuat orang tua menjadi resah, guru kehilangan jurus, petugas keamanan mati kutu, masyarakat pun tercekam. Mau jadi apa anak-anak kita nanti?
Anak merupakan karunia sekaligus ujian bagi orang tua. Mendidik mereka menjadi sebuah amanah terbesar dan terberat yang harus dipikul orang tua. Punya anak yang saleh dan salehah merupakan harapan setiap orang tua, tetapi untuk mencapainya bukanlah diperoleh dengan cara yang instan. 
Berkaitan dengan hal itu, Allah berfirman dalam surah al-Tahrîm ayat 6 yang bunyinya :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدَادٌ لا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ (٦)
  
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Beranjak dari fenomena diatas dalam bahasan kali ini menarik untuk didiskusikan bersama bagaimana sebenarnya dan seharusnya pengasuhan dan pendidikan anak dalam islam agar kedepannya tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan dan kita sebagai orang tua benar-benar mengamalkan apa yang diperintahkan Allah seperti dalam firman-Nya surah al-Tahrîm ayat 6 diatas.

B.            Pengertian Pengasuhan dan Pendidikan Anak Dalam Islam
Dalam kamus besar bahasa Indonesia pengasuhan adalah proses, perbuatan, atau cara mengasuh.[1] Mengasuh dalam bahasa arab berasal dari akar kata حَضَنَ – يَحْضُنُ yang artinya asuh, mengasuh.[2] Mengasuh anak adalah menjaga orang yang belum mampu mandiri mengurus urusannya sendiri, mendidik, menjaganya dari hal yang merusak atau pun yang membahayakannya.[3]
Beranjak dari hal itu dan melihat dalam kamus besar bahasa Indonesia pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan; proses perbuatan, cara mendidik.[4] Dalam bahasa arab pendidikan berasal dari akar kata تَرْبِيّةٌ yang artinya didik, pendidikan.[5] Apabila istilah tarbiyah diambil dari fi’il madhi-nya (rabbayânî) maka ia mempunyai arti memproduksi, mengasuh, menanggung, memberi makan, menumbuhkan, mengembangkan, memelihara, membesarkan, dan menjinakkan.[6] Dalam alqur’an dapat ditemui tiga ayat yang senada dengan istilah tersebut, yaitu: dalam surah al-Isra’:24 yang bunyinya: kamâ rabbayânî shaghîra. Ayat ini menunjukkan pengasuhan dan pendidikan orang tua kepada anak-anaknya baik jasmani maupun rohani. Dalam surah asy-Syu’ara:18 yang bunyinya: alam nurabbika fina walîda. Ayat ini menunjukkan pengasuhan fir’aun terhadap Nabi Musa sewaktu kecil akan tetapi hanya jasmani saja tidak untuk rohani. Kemudian dalam surah al-Baqarah: 276 yang bunyinya: yamhullahurribâ wa yurbî shadaqah. Ayat ini berkenaan dengan makna menumbuh kembangkan dalam pengertian tarbiyyah seperti Allah menumbuh kembangkan sedekah dan menghapus riba.[7]
Tidak banyak literatur yang penulis dapat tentang pengertian “pengasuhan” anak. kalau dilihat dari kata “pengasuhan” berbeda dengan “pendidikan”, tetapi sejauh penulis pahami dari pengertian yang ada maknanya sama saja, karena pengasuhan itu merupakan tanggung jawab orang tua terhadap anaknya yang mana didalamnya selain memberikan kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani juga kebutuhan pendidikan. Artinya kalau boleh dikatakan “pengasuhan anak” maka sama saja maknanya “pendidikan anak”.  

C.            Konsep Pengasuhan Dan Pendidikan Anak Dalam Islam
 Al-Qur’an telah menjelaskan bagaimana pendidikan anak dalam islam. Dimulai dengan bagaimana orang tua berbicara dengan anak-anaknya. Seperti dalam surah Luqman: 13 yang berbunyi:

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ (١٣)
     
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
Dalam ayat tersebut mengajarkan kepada orang tua agar berbicara dengan anak dengan cara lemah lembut disertai dengan kasih sayang yang mendalam tanpa memandangnnya dengan penuh kebencian. Diharuskan juga ketika orang tua menyuruh ataupun melarang harus menggunakan argumentasi logis, misalnya ayah atau ibu melarang anak untuk tidak kebut-kebutan dijalan karena itu dapat membahayakan dirinya dan tentunya membuat orang tua khawatir, lebih baik pergi kepengajian dimesjid lebih mendapat pahala dari pada melakukan hal yang tidak bermanfaat dijalanan.[8]   
Orang tua dalam mendidik anaknya harus dengan benar, jangan dibiarkan begitu saja karena anak merupakan amanah yang diberikan Allah kepada orang tua. Maka dari itulah mendidik anak harus dengan baik dan benar sesuai tuuntunan al-Qur’an. Pada masa sekarang para orang tua dengan bangganya memberikan pendidikan kepada anaknya sampai jenjang yang tinggi dan mendapat gelar sarjana. Hal itu bisa saja orang tua lakukan dengan tujuan untuk menunjang kemaslahatan kehidupan duniawinya akan tetapi jangan lupa pendidikan kemaslahatan kehidupan akhiratnya kelak. Seperti Rasulullah ajarkan kepada kita bahwa pendidikan itu sebenarnya ada tiga yaitu: ayat yang pasti, sunnah yang benar, dan kewajiban yang harus dilakukan. Ayat yang pasti itu maksudnnya seperti ilmu tauhid, ushuluddin, kajian-kajian tentang sang pencipta. Sunnah yang benar seperti hal-hal yang berkaitan dengan keikhlashan, ilmu tentang kemuliaan manusia dan kehinaannya, cara mendapatkan kemuliaan dan menghindari dari kehinaan. Kewajiban yang harus dilakukan seperti ilmu-ilmu fiqih. Sedangkan ilmu-ilmu yang lainnya hanyalah pelengkap saja seperti ilmu-ilmu umum sampai mendapat gelar professor hanyalah untuk ilmu pelengkap demi kemaslahatan anak kelak.
Sebagai orang tua yang ingin benar-benar mendidik anaknya agar menjadi manusia dan muslimin yang berada dalam garis ajaran islam bisa menerapkan ajaran-ajaran Luqman dalam al-Qur’an yang insyaAllah anak yang kita didik tidak akan keluar dari koridor islam. Dikatakan demikian karena ajaran-ajaran Luqman yang ditawarkan ini merupakan bersumber dari sumber asli yakni al-Qur’an. 

Pertama, perintah untuk mensyukuri ni’mat dalam surah Luqman ayat 12 yang bunyi ayatnya adalah:
وَلَقَدْ آتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ (١٢)  
Artinya: “Dan Sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, Yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. Dan Barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji".
Dalam tafsir Ibnu Katsir menurut cerita yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Abi Arubah, dari Qatadah tentang firman Allah dalam ayat ini menerangkan bahwa Allah telah memberikan pemahaman, pengetahuan dan ta’bir mimpi kepada Luqman tentang islam padahal dia bukan seorang Nabi dan tidak diberikan wahyu. Allah memerintahkan kepadanya untuk bersyukur kepada Allah atas apa yang telah diberikan, dianugerahkan dan dihadiahkan oleh-Nya berupa keutamaan yang hanya dikhususkan kepadanya, tidak kepada orang lain yang sejenis di masanya. Apabila bersyukur kepada Allah maka manfaat dan pahalanya hanya akan kembali kepada orang-orang yang bersyukur itu sendiri. Barang siapa yang tidak bersyukur kepada Allah maka hal itu tidak membahayakan-Nya sekalipun seluruh penghuni alam ini mengkufuri-Nya karena sesungguhnya Allah Maha Kaya dari hamba-hamba-Nya[9].

Kedua, perintah untuk tidak menyekutukan Allah dalam surah Luqman ayat 13 yang bunyi ayatnya adalah:


Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
Asbabun Nuzul ayat 13 dalam surah ini adalah: dari ‘alqamah ra., dari ‘abdullah ra., dia berkata , “tatkala turun QS. Al-An’âm: 82, kalangan sahabat bertanya, ‘siapa diantara kita yang tidak berbuat zalim terhadap dirinya?’ lalu turunlah ayat ini.” (HR. Bukhârî)[10]    
Dalam tafsir Ibnu Katsir diterangkan bahwa Luqman memberikan wasiat kepada putranya yang bernama Tsaran yang merupakan orang yang paling dikasihi dan dicintainya. Ini merupakan wasiat yang paling utama yakni untuk beribadah kepada Allah yang tidak ada sekutu bagi-Nya karena sesungguhnya syirik (mempersekutukan Allah) merupakan kezhaliman terbesar.[11] Dalam surah al-An’âm ayat 82 juga disebutkan hal yang sama untuk tidak menyekutukan-Nya, yang bunyi ayatnya:
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ ... 
Artinya: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik)…”
Selain surah al-An’âm ayat 82, juga ditemukan dalam surah al-Isrâ’ ayat 23. Dalam ayat tersebut diperintahkan untuk beribadah kepada Allah dengan berbakti pada Ibu-Bapak, yang bunyi ayatnya:
  وَقَضَى رَبُّكَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ..      
Artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya…”
Selain ayat tersebut masih banyak lagi ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan hal tersebut. Selain ayat al-Qur’an tentunya hadits juga mendukung larangan syirik, bunyi haditsnya:
حَدَّثَنَا الْحَوْطِيُّ ، حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ ، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ سِنَانٍ ، عَنْ يَحْيَى بْنِ جَابِرٍ الطَّائِيِّ ، عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ حَكِيمٍ ، عَنْ أَبِيهِ حَكِيمٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، أَنَّهُ أَتَى النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم ، فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللهِ ، بِمَا أَرْسَلَكَ رَبُّنَا ؟ قَالَ : تَعْبُدُ اللَّهَ تَعَالَى لا تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا ، وَتُقِيمُ الصَّلاةَ ، وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ ، وَكُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ مُحَرَّمٌ ، يَا حَكِيمُ ، هَذَا دِينُكَ أَيْنَمَا تَكُنْ يَكْفِكَ

Ketiga, berterima kasih kepada orang tua surah Luqman ayat 14 yang bunyi ayatnya adalah:

وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ (١٤)
  
Artinya: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang Ibu-Bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu”.
Dalam ayat ini Allah memerintahkan agar berbuat baik pada kedua orang tua, yang mana ibunya mengandung dalam keadaan lemah. Menurut Mujahid berkata: “beratnya kesulitan mengandung anak” sedangkan menurut Qatadah berkata: “keberatan demi kebeatan”. Setelah melahirkan yakni mengasuh dan menyusuinya selama dua tahun kalau memang ingin menyempurnakannya. Allah menyebutkan (dalam ayat ini) pengasuhan seorang ibu, kelelahan dan kesulitannya saat menjaganya diwaktu siang dan bahkan harus bergadang malam hari hanya untuk merawat bayi yang tidak punya daya apa-apa karena begitu besar cintanya pada buah hati maka dari itulah Allah memerintahkan untuk bersyukur kepada-Nya dan kepada kedua orang tuanya.[12]          
Dalam hadits yang diriwayatkan Muslim yang senada dengan hal ini.
عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه و سلم قال لايجزي ولد والده إلا أن يجده مملوكا فيشتريه فيعتقه
Artinya: Dari Abu hurairah ra, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “seorang tidak dapat membalas budi kedua orang tuanya, kecuali jika mendapatkan orang tuanya menjadi budak, kemudian ia membeli dan memerdekakannya.”[13]

Keempat, bila orang tua musyrik maka tetap saja baik dalam urusan dunia saja dalam surah Luqman ayat 15 yang bunyi ayatnya adalah:

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (١٥)

Artinya: “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Ku lah kembalimu, maka kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”.
Ayat ini menjelaskan bahwa jika kedua orang tua memaksakan agamanya (selain islam), maka janganlah (kamu) menerimanya dan itu pun tak boleh menghalangimu untuk berbuat baik kepada keduanya di dunia secara ma’ruf (baik) dan tetap ikuti orang-orang yang kembali kepada Allah.[14]

Kelima, menanamkan pada anak bahwa akan adanya balasan akhirat dalam surah Luqman ayat 16 yang bunyi ayatnya adalah:

يَا بُنَيَّ إِنَّهَا إِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الأرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ (١٦)

Artinya: (Luqman berkata): "Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha mengetahui.
Tafsir ayat ini adalah suatu perbuatan seberat biji sawi yaitu kezhaliman dan kesalahan sekalipun seberat biji sawi, niscaya Allah akan membalasnya. Allah akan menghadirkannya pada hari kiamat ketika Dia mendirikan timbangan keadilan serta membalasnya. Jika kebaikan akan dibalas dengan kebaikan dan jika keburukan maka akan dibalas dengan keburukan. Senada dalam surah al-Anbiyâ’: 47 yang bunyi ayatnya:
وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا... 
Artinya: “Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, Maka Tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun…”
Sekalipun biji sawi itu terlindungi dan terhalang di dalam batu besar hitam atau di tempat terasing jauh di ujung langit dan bumi, sesungguhnya Allah akan menghadirkannya karena tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dan tidak ada satu biji dzarrah pun yang ada di langit dan di bumi yang terluput dari-Nya. Allah Maha Halus ilmu-Nya sehingga tak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya, sekalipun kecil, halus dan lembut.[15]

Keenam, perintah shalat, amar ma’ruf nahi munkar, dan sabar dalam surah Luqman ayat 17 yang bunyi ayatnya adalah:

يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الأمُورِ
Artinya: “Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).”
Dalam ayat ini Luqman menyuruh anaknya agar mendirikan shalat dengan menegakkan batas-batasnya, melakukan fardhu-fardhunya dan menetapkan waktu-waktunya. Menyuruh (manusia) mengerjakan yang baik dan mencegah dari perbuatan yang munkar sesuai dengan kemampuan dan kesungguhanmu. Bersabarlah terhadap apa yang menimpamu karena orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar pasti akan mendapat gangguan dari manusia, maka dia memerintahkannya untuk bersabar.[16]  
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Hakim adalah perintah untuk mendirikan shalat, bunyi haditsnya:
فقد حدثناه أبو الحسن أحمد بن محمد العنزي ثنا عثمان بن سعيد الدرامي ثنا النفيلي ثنا زهير و غيره عن سليمان التيمي عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال : كان آخر وصية رسول الله صلى الله عليه و سلم حين حضره الموت : الصلاة الصلاة مرتين و ما ملكت أيمانكم و ما زال يغرغر بها في صدره و ما يفيض بها لسانه

Artinya: “Wasiat terakhir Rasulullah saw menjelang wafat adalah: Shalat…! Shalat…! Dua kali dan budak-budak yang kalian miliki. Kalimat itulah yang terus keluar masuk dadanya dan digerak-gerakkan lisannya.”[17]
Hadits tentang amar ma’ruf nahi munkar yang tak asing lagi kita dengar yang mana diriwayatkan Muslim, bunyi haditsnya:
عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم يقوم : من رأى منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف الإيمان.  رواه مسلم

Artinya: “Dari Abi Said al-Khudri ra, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, “barang siapa melihat yang kemungkaran maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya, jika ia tidak mampu maka dengan lisannya, jika ia tidak mampu maka dengan hatinya, yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman.”[18]
Selanjutnya hadits tentang perintah sabar, diriwayatkan Muslim, bunyi haditsnya  adalah:
إن الرفق لا يكون في شيء إلا زانه ، ولا ينزع من شيء إلا شانه ) . رواه مسلم

Artinya: “Sesungguhnya tidak ada kelembutan pada sesuatu hal kecuali dia akan menghiasinya, dan tidaklah ia tercabut dari suatu hal melainkan akan mencorengnya.” [19]

Ketujuh, untuk tidak berlaku sombong dalam surah Luqman ayat 18-19 yang bunyi ayatnya adalah:
     

Artinya: “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.
Tafsir ayat ini adalah bahwa dia (Luqman) berkata: janganlah engkau palingkan wajahmu dari manusia jika engkau berkomunikasi dengan mereka atau mereka berkomunikasi denganmu karena merendahkan mereka atau karena kesombongan, akan tetapi merendahlah dan maniskanlah wajahmu terahadap mereka. Janganlah kamu sombong, takabbur, otoriter, dan (menjadi) pembangkang. Jikalau engkau lakukan hal itu maka Allah pasti akan memurkaimu, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan bangga pada diri sendiri serta sombong pada orang lain. Dalam berjalan juga harus secara sederhana, tidak terlalu lambat dan tidak terlalu cepat, akan tetapi adil dan pertengahan. Juga dalam hal berbicara janganlah berlebihan dan jangan mengeraskan suara pada sesuatu yang tidak bermanfaat. Keterlaluan mengangkat suara disamakan dengan keledai dalam ketinggian dan kekerasannya dan disamping itu kekerasan suara tersebut merupakan hal yang dimurkai Allah. Penyerupaan suara ini dengan keledai menjadi konsekuensi logis keharaman dan ketercelaannya yang sangat keras.[20]    
Hadits yang berkenaan dengan larangan sombong, yang diriwayatkan Muttafaqun ‘alaih:
حدثنا محمد بن أحمد بن أبي خيثمة قال وجدت في كتاب جدي بخطه ثنا إسماعيل بن أبان حدثني مسعر ثنا معبد بن خالد : عن حارثة بن وهب و المستورد الفهري قالا قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : ألا أخبركم بأهل الجنة ؟ كل ضعيف متضعف لو أقسم على الله لأبره ألا أخبركم بأهل النار ؟ كل عتل جواظ مستكبر

Artinya: “Dari Haritsah bin Wahab ra, dia berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah saw bersabda,” maukah kamu saya beritahukan tentang penghuni neraka? Mereka adalah orang yang kaku dan kasar, berakhlak sangat buruk dan sombong.”




D.           Penutup
Konsep yang ditawarkan oleh pendidikan islam hanya mempunyai satu tujuan yakni menyiapkan individu untuk dapat beribadah kepada Allah SAW dan tak perlu dinyatakan lagi bahwa totalitas agama islam tidak membatasi pengertian ibadah hanya pada shalat, puasa ataupun haji semata, akan tetapi karya yang dilakukan seorang muslim dengan niat untuk Allah semata merupakan ibadah. Begitu pula dengan pendidikan anak dalam islam yang diterapkan, apakah seperti Luqman terhadap anaknya ataukah pendidikan umum yang dikenyam banyak orang pada saat ini sampai jenjang perguruan tinggi yang mana inti dari kesemuanya itu diniatkan untuk Allah semata, jadi pendidikan yang bagaimanapun (yang bermanfaat) merupakan ibadah.     



Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Lubâbut Tafsîr Min Ibni Katsîr (Terj. Tafsir Ibnu Katsir, oleh Abdul Ghoffar, et al, Bogor, Pustaka Imam asy-Syafi’I, 2008, cet-5  jilid 6, h. 399), Mu-assasah Dâr al-hilâl Kairo, cet-1, 1994.

Al-Attas, Muhammad al-Naquib, Konsep Pendidikan Dalam Islam, Bandung, Mizan, 1998.

Baharits, Adnan Hasan Shalih, Mas’ûliyyatul Abilmuslimi fi Tarbiyatil Waladi (Terj. Tanggung Jawab Ayah Terhadap Anak Laki-Laki, Jakarta, Gema Insani Press, 1996, Cet-1, h. 105), Jeddah-Saudi Arabia, Darul Mujtama, 1991, Cet-2.
 
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1990, Cet-3.

Hatta, Ahmad, Tafsir Qur’an, Jakarta, Maghfirah pustaka, 2009, Cet-4 Des.

Mazhahiri, Husain, Pintar Mendidik Anak (Terj. Tarbiyyah ath-Thifl fi ar-Ru’yah al Islamiyyah Beirutal-Bi’tsah1992, cet-1), Jakarta, lentera, 2008, Cet-7.

Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Syarah Riyadush Shalihin, Jakarta, Darus Sunnah Press, 2009, Cet-2.

Mujib, Abdul,et al, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, kencana, 2006,Cet-1.

Rusyadi, dkk, kamus Indonesia-Arab, Jakarta, Rineka Cipta, 1995, Cet-1.

Salim et.al., Syarah Bulughul Maram Hadits Hukum-Hukum Islam, Surabaya, Halim Jaya, 2005.






[1]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1990, Cet-3, h. 54. 

[2]Rusyadi, dkk, kamus Indonesia-Arab, Jakarta, Rineka Cipta, 1995, Cet-1, h. 59.   
[3]Salim et.al., Syarah Bulughul Maram Hadits Hukum-Hukum Islam, Surabaya, Halim Jaya, 2005, h. 702.   
[4]Departemen…h. 204.
[5]Rusyadi…h. 211.
[6]Muhammad al-Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam, Bandung, Mizan, 1998, h. 66.
[7]Abdul Mujib,et al, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, kencana, 2006,Cet-1, h. 11-12.
[8]Husain Mazhahiri, Pintar Mendidik Anak (Terj. Tarbiyyah ath-Thifl fi ar-Ru’yah al Islamiyyah Beirutal-Bi’tsah1992, cet-1), Jakarta, lentera, 2008, Cet-7, h. 216. 
[9]Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Lubâbut Tafsîr Min Ibni Katsîr (Terj. Tafsir Ibnu Katsir, oleh Abdul Ghoffar, et al, Bogor, Pustaka Imam asy-Syafi’I, 2008, cet-5  jilid 6, h. 399), Mu-assasah Dâr al-hilâl Kairo, cet-1, 1994.

[10]Ahmad Hatta, Tafsir Qur’an, Jakarta, Maghfirah pustaka, 2009, Cet-4 Des, h. 412. 
[11]Abdullah…OP.Cit., h. 401.
[12]Abdullah…ibid, h. 402.
[13]Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Syarah Riyadush Shalihin, Jakarta, Darus Sunnah Press, 2009, Cet-2, h. 498.
[14]Abdullah…Op.Cit., h. 402.
[15]Abdullah…ibid, h. 404.
[16]Abdullah…ibid, h. 404.
[17]Adnan Hasan Shalih Baharits, Mas’ûliyyatul Abilmuslimi fi Tarbiyatil Waladi (Terj. Tanggung Jawab Ayah Terhadap Anak Laki-Laki, Jakarta, Gema Insani Press, 1996, Cet-1, h. 105), Jeddah-Saudi Arabia, Darul Mujtama, 1991, Cet-2. 
[18]Muhammad bin Shalih al-Utsaimin…Op.Cit., h. 121.
[19]Muhammad bin Shalih al-Utsaimin…Op.Cit., h.. 978.
[20]Abdullah…ibid, h. 405.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar